Konservasi Gua dan Jenis Vandalisnya

Gua termasuk lingkungan yang unik dan rentan, alasannya karena gua membutuhkan waktu ribuan tahun untuk membentuk suatu fitur, sebuah formasi kalsit yang dirusak caver.

Namun tidak hanya bentuk gua itu sendiri yang harus dilindungi, flora dan faunanya seperti ular, keleawar, pakis, jamur, dan sebagainya juga perlu dijaga kelestariannya. Sebab peninggalan arkeologi ; manusia, binatang, tumbuhan, serta tambang adalah fitur sejarah yang banyak terkandung di dalam gua.

Saat ini permasalahan Goa adalah banyak para caver dan penelusur gua tidak mengetahui aturan dan cara pelestarian gua yang baik. Permasalahan yang banyak terjadi adalah vandalisme para caver dan permasalahan air sungai bawah tanah di kawasan karst.

Indonesia memiliki kawasan karst dengan luas total 154.000 km persegi dimana 15% (sekitar 22.000 km persegi)merupakan kawasan konservasi yang dilindungi. Dari seluruh kawasan karst di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kawasan karst terbesar yatu sebanyak 44 kawasan (Day dan Urich, 2002).

Suatu kawasan konservasi menurut Mackinnon Et Al, pada 1990, ditetapkan untuk melindungi berbagai macam ciri diantaranya karakteristik / keunikan ekosistem, spesies khusus yang diminati, tempat yang memiliki keanekaragaman spesies, landskap/ciri geofisik yang bernilai estetik, fungsi perlindungan hidrologi, fasilitas untuk pariwisata alam dan tempat peninggalan budaya.

Berikut ini adalah apa yang disebut vandalisme dan yang menjadi permasalahan air di kawasan karst. Vandalisme disini adalah bukan perusakan gua melaikan kerusakan akibat tindakan manusia secara sengaja. Disadari atau tidak tindakan dan akibat dari ketidak sengajaan berpengaruh terhadap estetika, ekosistem, fisik dan biota gua, juga perihal arkeologi, geohidrologi, paleantologi di dalam gua. Efek vandalisme tersebut dapat berakibat kemunduran secara makro maupun mikro dari nilai-nilai gua sebagai sumber daya langkah.

Beberapa contoh vandalis, seperti pengunduh sarang burung walet berdampak burung walet berpindah sarang, penggali forsat gua dapat merusak kestabilan gua dan estetikanya, membahayakan penelusur gua, dan sumber air karst tercemar . Penggali mineral kalsit juga berdampak pada hilangnya keindahan gua dan mengundang vandalis untuk mengambil formasi gua untuk dijadikan souvenir.

Ada kategori vandalis lainnya berupa perusakan nilai estetika oleh bangunan buatan manusia, polusi air, dan tercemar/hiangnya keaslian gua, corat-coret, pengambilan speleothem, pengotoran gua, dan gangguan ekologis.
Eksploitasi daerah kalsit untuk bahan baku semen dan wisata gua juga berdampak hilangnya keaslian dan kealamian gua.

Tahun 1987 di kawasan karst gunung Sewu kabupaten Gunung Kidul tercatat lebih dari 190.000 jiwa dan diperkirakan 7 kecamatan wilayah tersebut mengalami bencana kekeringan. Penduduk rela mengambil air di telaga-telaga yang dimana telaga tersebut juga digunakan untuk mandi, cuci mencuci, serta memandikan binatang ternak.

Kadang penduduk juga mengambil air dari gua-gua yang terdapat aliran sungai bawah tanah. Untuk mengatasi bencana tersebut pemda kabupaten Gunung Kidul mendatangkan para peneliti dari Inggris yang mengerti dalam hidrologi karst.

Penelitian selama 2 tahun ini, dengan cara menelusuri, memetakan dan survey pengumpulan data (lebih dari 190 gua) dan hasil pedoman akan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan pengairan pertanian.

Perkembangan terakhir menampakan harapan besar, yaitu dengan adanya pemompaan sungai bawah tanah yang mengalir dari gua Bribing dan gua Seropan.

Sebagai penelusur harus menyadari bahwa gua merupakan lingkungan yang sangat sensitive dan mudah tercemar. Oleh karena itu penelusur harus mengetahui kode etik penelusur gua yaitu tidak mengambil sesuatu kecuali mengambil gambar, tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak kaki, dan tidak membunuh sesuatu kecuali waktu.
source

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSES TERJADINYA PELANGI

10 Kejadian paling kebetulan di dunia

Single Rope Technique